Monday, February 16, 2015

Cerpen Jakarta

J A K A R T A
Totilawati Tjitrawasita

            Ketika penjaga menyodorkan buku tamu, hatinya tersen­til. Alangkah anehnya, mengunjungi adik sendiri harus mendaftar, padahal seingatnya, dia bukan dokter. Sambil memegang buku itu dipandangnya penjaga itu dengan hati-hati, kemudian pelan dia bertanya, “Semua harus mengisi buku ini? Sekalipun saudara atau ayahnya, umpamanya?”
            Yang ditanya hanya mengangguk, menyodorkan bolpoin. “Silakan tulis: nama, alamat, dan keperluan,” katanya.
            Tiba-tiba timbul keinginannya untuk berolok-olok. Sambil menahan ketawa ditulisnya di situ: nama: Soeharto (bukan Presiden). Keperluan: urusan keluarga.
            “Cukup?” katanya sambil menunjukkan apa yang ditulisnya kepada penjaga. “Lelucon, lelucon”. Katanya berulang-ulang sambil menepuk-nepuk punggung penjaga yang terlon­gok-longok heran.
            “Dia tahu, siapa saya” ujarnya menjelaskan.
            “Tanda tangannya belum, Tuan. Dan alamatnya?”
            Betul juga, ada gunanya juga menjelaskan identitasnya agar tuan rumah tahu dan memberikan sambutan yang hangat atas kedatangannya. Maka ditulisnya di bawah tanda tan­gannya, lengkap: Waluyo ANOTOBOTO. Nama keluarganya sengaja dibikin kapital semua, diberi garis tebal di bawahnya. Sekali lagi dia tersenyum, rasa bangga terukir di wajahnya.
            “Begini?” tanyanya seperti meminta pertimbangan penja­ga.
            Terbayang adik misannya tergopoh-gopoh membuka pintu, lalu menyerbunya dengan segala rasa rindu, sambil melem­par macam-macam pertanyaan kepadanya, “Bagaimana Embok, Bapak? Tinah, anaknya sudah berapa?” Kemudian dilihatnya diri sendiri menepuki punggung adiknya dan dengan suara dan gaya orang tua dia bilang, “Sehat. Semua sehat. Dan mereka kirim salam rindu kepadamu.”
            Ketika pintu berderit ia tersentak dari lamunannya, dan di saat berdiri hendak menyambut adik misannya, ternyata yang keluar bukan dia … tapi si penjaga.
            “Bagaimana?” tanyanya tak sabar.
            “Duduklah Tuan, duduk saja. Pak Jenderal sedang ada tamu. Tapi saya lihat Pak Jenderal heran melihat nama Bapak di situ.”
            Mendengar itu dia tersenyum, lalu duduk kembali di kursi. Ditepuk-tepuknya debu yang melekat di celananya, lantas diambilnya slepi dari sakunya.
            “Boleh merokok”” tanyanya minta izin.
            “Silakan, silakan,” kata si penjaga dengan ramah. Sikap tamu itu memang merapatkan rasa persaudaraan. Ditawarkan­nya rokok ke ujung hidung si penjaga,
            “Mau? Silakan lho!” yang dijawab dengan gelengan kepala dan goyangan tangan oleh si penjaga.
            “Baiklah, tapi jangan panggil saya Tuan, ah. Saya bukan Tuan. Orang awam, sama seperti Saudara. Nama saya Waluyo. Orang-orang memanggilku ‘Pak Pong’. Lihat saja nanti, Pak Jenderalmu pasti memanggil aku dengan  ‘Pak Pong’, ‘Pak Pong’ terlalu banyak makan singkong, kalau rakus dikasih teletong. Ooh, sejak kecil kami memang suka berolok-olok.” Dia tertawa lebar, terkenang masa kecilnya, ber­canda di atas punggung kerbau. Si penjaga sempat menca­tat: gigi tamunya ompong semua.
            “Tuan, Eh Pak Pong, petani?” ujarnya ragu-ragu, takut kalau menyinggung perasaan.
            “Petani? Apa potongan saya petani? Bukan! Tapi waktu remaja memang kami suka pencak silat. Rupanya meninggal­kan bekas juga, pada potongan tubuhku. Atau karena baju model cina ini ya? Saya, guru SD di Desa Nggesi. Sekolah ini telah menghasilkan orang-orang besar. Murid saya yang pertama sekolah sudah Kapten, ada juga yang insinyur. Dan Pak Jenderalmu, murid yang paling jempolan. Otaknya tajam se­kali,” katanya sambil mengacungkan ibu jari ke atas, memuji kepandaian adik misannya.
            Bel yang mendadak menjerit tiga kali menghentikan dongengnya. Tampak olehnya penjaga itu berdiri dengan tergesa-gesa sambil berkata, “Tunggu sebentar, mungkin Bapak sudah diperlukan.”
Dia melongo, “Diperlukan?” Diperlukan?” ujarnya di dalam hati, tidak mengerti. Disedotnya rokoknya dalam-dalam, asapnya ditiupkan ke atas. Terbayang kembali di depan matanya Paijo yang kurus kering, makan satu meja, tidur sepembaringan, adik misannya sendiri. Pernah ada bisul di pantatnya, lantas ditumbukkan daun kecubung untuk obat. Waktu tubuh yang kering itu disergap kudis, dia bersepeda sepanjang limapuluh kilometer untuk beli obat ke kota buat adiknya itu. Pagi dan sore menggerus belerang, merebus air dan merendam Paijo pada kemaron yang besar. Tiga puluh lima tahun yang lalu, itu, ketika semua masih anak-anak.
            “Pak Pong mau minum apa?” Seperti tadi, si penjaga nyelonong duduk dan menegurnya, membubarkan angan-angan masa silamnya. “Pak Jenderal bilang saya harus menemani Bapak, sebab Pak Jenderal lagi sibuk. Sebentar lagi ada tamu istimewa, Pak Menteri. Minumnya apa, Pak? Juice? Coca Cola?”
            “Apa saja, boleh. Kopi kalau ada,” ujarnya merendah.
            “Aih, Jakarta panas, kenapa kopi? Tapi apa Bapak Sauda­ranya Pak Jenderal?” ujar penjaga sambil menyorongkan cangkir ke depan tamunya.
            “Ya, kakak sepupu. Sejak kecil dia yatim piatu. Ibu bapaknya meninggal kena wabah kolera. Dia dua saudara, adik perempuannya bernama Tinah. Lantas keduanya diambil oleh orangtua kami, dibesarkan dalam kandang yang sama, di Nggesi. Kami memang keluarga petani, tapi dia agak lain, otaknya luar biasa. Sejak kecil dia sudah menunjukkan bakatnya, selalu saja dibuatnya hal-hal yang mengagum­kan. Karenanya kami semua bersepakat untuk mengirimnya ke kota, sekolah. Waktu itu kami menjual sapi dan padi untuk ongkos-ongkosnya. Lantas saya waktu sudah jadi guru, saya kirimkan seluruh gaji untuk biayanya, sebab di desa kami kan bisa makan apa saja …. Ooh, apa itu Pak Menteri?” tiba-tiba dia menghentikan ceritanya, menunjuk ke jalan.
            Seperti disengat lebah, penjaga yang di dekatnya melon­cat bangun, setengah berlari menyambut tamu yang baru datang dan bergemetaran ketika membukakan pintu mobilnya.
            “Langsung saja, Pak,” kata si penjaga sambil mengantar Pak Menteri ke ruang tamu di dalam.
            Dia duduk saja di situ, tercenung-cenung. Dicatatnya kejadian itu dalam hati: tamunya Paijo, Menteri; langsung bertemu tanpa menunggu. Lantas dihitung-hitung sudah berapa tahun mereka tidak saling ketemu. Apa Paijo juga gemuk seperti Menteri itu? Tiba-tiba semacam kerinduan naik mencekam naik ke dadanya: Dia ingin melihat adiknya! Serasa hendak diterjangnya tembok yang ada di hadapannya. Karena gelisah dia berdiri, berjalan ke arah pintu.
            Ketika tangannya menyentuh grendel, pintu terdorong dari dalam. Dan seseorang muncul di depannya: si penjaga! Dengan tertawa terkekeh-kekeh ditepuk-tepuknya bahu Pak Pong yang tua.
            “Kabar baik, Pak, kabar baik. Mereka berdua wajahnya cerah-cerah. Menteri itu banyak duit, alamat saya keba­gian rejeki. Oo, jadi Pak Pong ini kakak misan Pak Jen­deral, ya? Betul mirip memang, dan Pak Jenderal selalu bangga pada keluarganya. Dalam pidato-pidatonya selalu disebut-sebutnya: anak desa, penderitaan rakyat, dan perjuangan melawan Belanda,” kata penjaga itu mencoba mengingat-ingat kembali apa yang pernah diucapkan oleh Jenderalnya, kepada tamunya.
            “Ya, betul. Rumah kami pernah dijadikan markas, waktu zaman gerilya. Masih lama ya, Pak Menteri itu?” katanya tak sabar lagi.
            “Tidak! asal Bapak Jenderal mau teken, biasanya urusan selesai. Minumnya ditambah lagi ya, Pak?”
            Dia menggeleng lesu, dalam hati diumpatnya Menteri dan tamu-tamu yang antri di situ, merebut waktu adiknya.
            Karena badan dan pikirannya terlalu capek, dia mengan­tuk di situ. Si penjaga tidak mengganggunya, dibiarkan saja tamunya tersandar lemas di kursinya. Entah berapa lama dia dalam keadaan semacam itu, dia sendiri tak menyadarinya; tiba-tiba didengarnya kembali bel tiga kali. Si penjaga menggoncang-goncang bahunya.
            “Giliran untuk Pak Pong. Mari, saya antarkan ….” Ada keramahan yang tulus terlempar dari mulut si penjaga. Bibirnya menyunggingkan senyum, ikut merasa bahagia. Waktu pintu ternganga lebar, dia tercenung di depannya. Matanya bergerak ke sana ke mari menatapi apa saja yang dilihatnya. Ruangan itu bagus sekali. Hawa dingin menyen­tuh kulitnya. Ada kesegaran di dalamnya. Di tengah-tengah barang-barang yang serba megah, duduk laki-laki jangkung, memakai kecamata hitam. Betulkah itu Paijo?
            Ya, dia tidak salah: ada tahi lalat di pipinya. Maka dia pun menyerbu ke dalam, lalu dihamburkan kerinduannya, “ … Jo …,” teriaknya nyaring. Ketika hendak dirang­kulnya laki-laki yang duduk di belakang meja, dia menda­dak menghentikan langkahnya, sebab laki-laki itu bukannya berdiri tetapi tetap saja duduk di kursi. Laki-laki jangkung itu melepaskan kecamatanya pelan-pelan, lalu mengulurkan tangannya.
            “Hallo, Pak Pong, apa kabar? Saya senang bertemu kakak di sini? Bagaimana Ibu, Bapak dan Dik Tinah?”, ujarnya, datar tanpa emosi.
            Laki-laki yang bernama Pak Pong itu hanya melompong.
            “Kakak, Ibu, Dik Tinah?” dia sempat mencatat kata-kata baru. “Bukankah kata-kata itu dulu berbunyi, “Kakang, simbok, dan gendukku Tinah?”
            “Baik, baik, Dik, semuanya kirim salam rindu padamu,” katanya dengan latah, “dik”nya terasa kaku di lidah. Dulu, orang yang ada di depannya itu dipanggilnya dengan le saja, ketika masih sama-sama memandikan kerbau di sungai, tiap sore.
            “Kakak tetap saja: penggembira, awet muda, bajunya potongan Cina.” Mereka tertawa berderai-derai. Tapi laki-laki yang bernama Pak Pong menangkap sesuatu yang lain dari wajah adiknya: ketidakwajaran.
            Maka hilanglah kegembiraannya. Kerinduan yang hendak dia tuangkan dalam banyak cerita, berhenti sampai di tenggorokannya. Dia tenggelam dalam keasingan. Terentang batas di depannya. Sekalipun tidak diketahuinya bagaimana wujudnya, tapi dia dapat merasakannya. Pada setiap tari­kan napas adiknya terbayang ungkapan kegelisahan adik misannya itu, akan kehadirannya.
“Kakak nginap di mana?” tanya laki-laki yang sejak kecil dia timang-timang itu, mengiris hatinya.
“Gambir. Engkau sibuk, Dik? Ada titipan dari Ibu, “ kata-katanya menggeletar, ada rasa penasaran yang dite­kannya sendiri di dalamnya. Didengarnya sendiri, betapa lucunya kata ‘ibu’ terluncur dari mulutnya. Lebih dari setengah abad dunia ini dihuninya, baru satu kali itu dalam hidupnya ia menyebut ibu buat emboknya.
            “Dari Ibu? Baiklah, nanti saja; sebentar lagi saya harus rapat di Bina Graha. Kakak nginap di Gambir? Kalau begitu, biarlah penjaga mengantarkan kakak ke sana. Nanti malam Kakak saya tunggu, makan malam di rumah bersama keluarga.”
            Laki-laki itu berdiri, mengantarkan kakaknya sampai di pintu, memanggil serta memberikan aba-aba pada sopir dan si penjaga. Sesudah itu mobil merah punya Pak Jenderal meluncur melintasi kota, cepat seperti kilat.
            “Gambir sebelah mana, Pak?” ujar sopir di perjalanan.
            “Stasiun!” jawabnya tenang.
            “Stasiun? Kiri apa kanannya, Pak?” tanya si penjaga, ingin lebih jelas.
            “Tidak, di stasiunnya itulah. Jam berapa kereta mening­galkan Jakarta? Saya tidak punya famili di sini, kecuali dia. Kasihan adikku, repot sekali kelihatannya. Tentu di rumahnya banyak tamu, sehingga saya tidak kebagian ruang dan waktu. Kasihan adikku, seharusnya saya tidak meng­ganggunya,” ujarnya tulus, tanpa prasangka, pelan seperti bicara kepada dirinya sendiri.
            “Pak Pong …”, sapa penjaga itu dengan lirih. “Kalau Pak Pong mau, biarlah kita bersempit-sempit di gubuk saya. Kereta meninggalkan Jakarta baru besok pagi, jam lima. Ada yang jalan sore, tapi karcisnya sepuluh ribu.”
            Laki-laki yang dipanggil Pak Pong mengulurkan kedua belah tangannya. Mereka bersalaman dengan hangat, ditem­pelkan di dada, bersilaturahmi.
            “Alhamdulillah. Kamu tidak keberatan, menerima aku satu malam saja?”
Penjaga itu menggeleng lemah, tanpa berbicara. Hanya saja mata yang menatap sedih pada orang yang duduk di dekatnya itu.
            Malam itu, Pak Pong berjalan kaki, keliling kota Jakarta, di temani si penjaga. Kejadian siang tadi sama sekali tidak membekas pada wajahnya, mukanya tetap berseri-seri. Diterimanya kenyataan itu sebagai hal wajar: adiknya orang besar, sibuk dan banyak acara, mengurus negara. Setiap kali melihat mobil merah lewat di dekatnya, tanya­nya, “Bukankah itu mobil Paijo? Jangan-jangan dia menjem­put aku? Kami memang sudah berjanji, jam tujuh, makan malam.”
            Si penjaga menepuk-nepuk bahunya, “Mobil merah ratusan, Pak, jumlahnya di sini. Dan malam ini Pak Jenderal ada di istana, menyambut tamu dari luar negeri.”
            “Istana? Rumahnya Presiden, maksudmu?” matanya terbeli­ak lebar, mengungkapkan keheranan yang besar.
            “Ya, rumah Presiden. Nah itu, lampu-lampu yang gemerla­pan itu night club. Tahu night club?” tiba-tiba saja si penjaga merasa berarti, lebih pandai daripada tamunya, kakak sepupu Jenderalnya.
            “Night club,  Pak, pusat kehidupan malam di kota ini. Tempat  orang-orang kaya membuang duit mereka. Lampunya lima watt, remang-remang; perempuan-perempuan cantik, minuman keras, tari telanjang, dan musik yang gila-gilaan. Pendeknya, yahut!” ujar penjaga sambil mengacung­kan jempolnya.
            “Lantas, apa yang mereka bikin, di situ?” suaranya tercekik membayangkan ketakutan yang besar.
            “Berdansa. Bercumbu. Biasa, Pak, Jakarta!” jawab si penjaga dengan ringan.
            “Astaga … Gusti Pangeran, nyuwun pangapura…. Dan adikku apa sering ke situ?” ujarnya lirih, mengandung sedu.
            “Tidak ke situ, ke Paprika. Tapi sama saja. Malah karcisnya mahal di sana, enam ribu!”
            “Enam ribu? Sama dengan dua bulan gajiku,” keluhnya pelahan.
Lampu-lampu yang berkilauan terasa menusuk-nusuk mata­nya, sedangkan kebisingan kota menyayat-nyayat hatinya. Samar-samar dia sadari bahwa dia telah kehilangan adik­nya: Paijo tercinta!
            Pak Pong yang malang menatap kota dengan dendam di dalam hati. Jakarta, kesibukannya, Bina Graha, gedung-gedung itu, Istana Merdeka, night club, mobil merah telah memisahkan dia dari adiknya.
            Ditatapnya bungkusan kecil titipan emboknya, lalu diberikannya kepada si penjaga, “Untukmu. Kain yang dibatik oleh tangan orang tuaku. Di dalamnya terukir cinta ibu kepada anaknya. Coretan tanah kelahiran yang dikirim untuk mengikat tali persaudaraan!”
            Dua tetes air mata membasahi pipi yang tua, menandai kejadian waktu itu.


Dikutip dari Hoerip, Satyagraha. 1979. Cerita Pendek Indonesia 4. Jakarta : Pusat Pembinaan dan Pengembangan Bahasa. Halaman 192–198.

No comments: